Polres Garut memfasilitasi kedua belah pihak baik terlapor maupun pelapor untuk melakukan mediasi terkait kasus tersebut, dengan menghadirkan keluarga pelaku atas nama anak Reyhan dan keluarga korban atas nama Asep.
Proses mediasi dilakukan di ruang gelar perkara Satreskrim Polres yang dihadiri juga Balai Pemasyarakatan Bapas kelas II Garut, Dinas Sosial Garut, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Banjar, dan kuasa hukum dari kedua belah pihak, serta penyidik Polres Garut, Rabu (6/11/2024).
Pembimbing Kemasyarakatan ahli Muda Bapas Garut Martini, S.H.,M.H, mengatakan, proses peradilan yang dilakukan terhadap anak atas nama Reyhan sesuai dengan undang-undang SPPA nomer 11 tahun 2012.
Dimana, lanjutnya, anak Reyhan melakukan perbuatan itu ancaman hukuman dibawah 7 tahun, dan bukan pengulangan tindak pidana, pihaknya melakukan disversi.
"Disversi sudah Kita lakukan, berkumpul dari berbagai pihak baik dari penyidik, Saya sendiri dari Bapas, dari korban, terus anak (pelaku) didampingi orang tua, kemudian dari aparat setempat tempat tinggal anak, juga dari LPKS, dan dari Dinas Sosial pun ada. Proses Alhamdulillah berjalan lancar sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan,"ungkapnya.
Martini menjelaskan, bahwa proses disversi ini adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Tujuannya adalah untuk: Mencapai perdamaian antara korban dan anak, Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Diversi merupakan pendekatan keadilan restorative yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi dapat menjadi wahana untuk mendidik anak yang sudah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tentang pentingnya mentaati hukum.
"Alhamdulillah dengan legowo nya korban mau memaafkan dan tidak akan melanjutkan lagi peristiwa ini untuk ke tingkat selanjutnya. Dan anak ini untuk kesepakatan bersama tadi, bahwa anak dikembalikan kepada orang tua, tapi masih dalam pengawasan Kami (Bapas) selama 3 bulan untuk wajib lapor ke Bapas,"jelasnya.
"Jadi anak ini tidak dilepas begitu saja dalam perkara ini, tetapi tetap dalam pengawasan Kami selama 3 bulan. Jadi proses upaya Restoratif Justice sudah Kita lakukan sesuatu dengan undang-undang SPPA nomer 11 tahun 2012,"imbuhnya.
Di tempat yang sama, kuasa hukum korban Heri Sagi menuturkan, bahwa dengan adanya mediasi yang dilakukan pada akhirnya menemukan titik temu untuk islah.
"Alhamdulillah proses mediasi berjalan dengan lancar, semua pihak hadir, jadi sebetulnya Kami dari pihak korban mengikuti alur, apakah berjalan terus sesuai prosedur hukum, ataupun mengambil langkah islah. Dan itu sudah Kita tempuh dan menemui titik temu,"tuturnya.
Heri menyatakan dari pihak korban pada kenyataannya sangat terharu, pasalnya mungkin masih ada ikatan batin dengan pelaku.
"Ya walaupun anak tiri, korban ini turut membesarkannya selama 8 tahun, jadi memang masih ada ikatan batin, apalagi ada anak kandungnya yang masih berumur 9 tahun, korban lebih memikirkan masa depan kedua anak tersebut, meskipun apa yang dilakukan kepada korban sangat tragis,"ucapnya.
Kesimpulan dari perkara ini, Heri menyatakan korban tidak lagi melanjutkan permasalah ini ke prosedur hukum sebagaimana kesepakatan dari proses mediasi.
"Jadi Korban sangat legowo memaafkan pelaku, dan tidak lagi melanjutkan permasalahan ini ke prosedur hukum selanjutnya. Artinya kedua belah pihak islah,"pungkasnya.